Singgalang (Ragu)
Malam
memakan sisa hujan tadi dalam perut gelapnya.Namun dingin masih saja setia
menemaniya. Tak ada tanda suara manusia yang terjaga di tengah malam ini, semua
terlelap di pelukan selimut hangat.. Kopi ku sudah hampir kandas, masih sedikit
tersisa panasnya ditelapak tangan kala ku tegak tetes terakhirnya. Tertinggal
jelaga yang pasrah di campakkan begitu saja.
“Aku tak suka menunggu dingin kopiku”
Merebahkan
diri sejenak di pembaringan, terasa punggungku kaku. Penat. Entah apa yang membuatnya
sedemikian, seharian tak ada yang kuperbuat. Kuliahku libur. Cucian tetap
manumpuk di ember, baju yang belum disetrika masih berjubel di rak lemariku.
Tak berguna sekali hidupku seharian ini, hanya tidur dan makan, serta
memikirkan sesuatu yang benar menyita otakku.
Kuraih
bungkus rokok yang terselip di pinggir dipanku.Teman sekamarku telah lama
terlelap. Kusulut rokokku perlahan, kunikmati tiap hisapan nikotin laknat ini. Tak
ada yang tau aku merokok, termasuk teman sekamarku dan terlebih pacarku. Terkadang
rokok jadi kebutuhan penting saat seperti ini, kata anak muda jaman sekarang,
saat “Galau”. Kulirik jam di handphone ku, pukul 00:57. Tawaran mas Andi petang
lalu menyita seluruh waktuku untuk memikirkanya. Setengah mati aku tertarik dengan cerita pengalamanya
saat itu. Sangat tertarik dan ingin sekali ikut dengan nya lusa. Telah
terbayang dibenakku perjalanan dingin yang mengasyikan, meskipun aku alergi
dingin , tapi ingin sekali rasanya merasakan sensasinya. Berjalan di jalur
licin, menangkap angin dan berburu edelweiss, Ya, terfikir olehku untuk memberikan
kado bunga itu pada ultah ibuku seminggu lagi. Senang rasanya, sudah terbayang
segala keindahan itu. Namun, ragu menyergapku dengan taringnya saat terbayang
keganasan medan terjal menuju puncak, hawa dingin yang akan membombardir
seluruh tubuhkau dengan rasa gatal yang tak tertahan.Apa aku siap?, apa sesak
nafasku tak akan kambuh?, yang terpenting adalah mungkinkah ibuku mengizinkan
setelah kejadian 3 tahun lalu yang meninmpa kakak lelakiku.?, segala pertanyaan
berjubel di otakku. Pusing. Sambil terus ku hisap batang tembakau ini kurasakan
sedikit sesak di dadaku, kubiarkan saja. Menikmati rasa sakit adalah kenikmatan
tersendiri untuk sekedar mengingat kematian.
Ibu,
kalau ku ingat wajah ibu, semua angan yang tergambar jelas serasa terbakar
hangus begitu saja. Tak mungkin aku pergi, Ibuku pasti shock dan aku tak mau
jadi malin kundang versi wanita apabila terus mengedepankan egoku. Tapi, di
lain sisi, aku ingin sekali membuktikan bahwa aku akan baik saja, lagi-lagi
egoku yang maju. Ingin sekali, sangat amat ingin bermanja bersama dedaunan
hutan, berbicara pada angin gunung dan di belai hangatnya mentari pagi.
Kakakku?, terlintas di benakku kejadian 3
tahun yang lalu saat aku masih sibuk dengan tahun pertamaku masuk kuliah.
Dikala sibuknya aku beradaptasi dengan dunia baruku haruslah dihantam dengan
kesedihan yang tak terkira. Kenyataan terpahit bahwasanya kakak laki-laki
satu-satunya yang kupunya harus meninggalkan kami untuk selamanya. Kelalainya
akan penyakit yang dideritanya saat dia belajar berkenalan dengan alam.Dia
lalai manakala penyakit yang dianggap remeh ini menyeretnya dalam kematian.
Penyakit yang sama dengan yang ku derita saat ini.
Dua
batang rokok yang asapnya sedari tadi memenuhi batang tenggorokanku telah
tinggal abunya saja. Pikiranku menerawang atas segala kemungkinan yang akan
terjadi. Bingung. Gamang. Kulirik gelas bekas kopiku tadi, terfikir untuk
menambah porsi kopiku malam ini. Bisa tak tidur sampai subuh dibuatnya, kutepiskan
segera. Aku butuh keputusan final malam ini, kalau tidak, ini akan menyita
seluruh waktuku. Aku benci itu.
Lalu?,
Suara
cicak didinding kamarku membuyarkan lamunanku. Kuraih handphoneku, kubuka foto
ibuku. Tak mungkin aku menyakiti beliau. Tidak akan. Betapa bodohnya aku bila
masih mempertahankan egoku.
Padang,
April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar