Selasa, 13 November 2012

Sastra Alam


Singgalang (Ragu)

Malam memakan sisa hujan tadi dalam perut gelapnya.Namun dingin masih saja setia menemaniya. Tak ada tanda suara manusia yang terjaga di tengah malam ini, semua terlelap di pelukan selimut hangat.. Kopi ku sudah hampir kandas, masih sedikit tersisa panasnya ditelapak tangan kala ku tegak tetes terakhirnya. Tertinggal jelaga yang pasrah di campakkan begitu saja.

“Aku tak suka menunggu dingin kopiku”

Merebahkan diri sejenak di pembaringan, terasa punggungku kaku. Penat. Entah apa yang membuatnya sedemikian, seharian tak ada yang kuperbuat. Kuliahku libur. Cucian tetap manumpuk di ember, baju yang belum disetrika masih berjubel di rak lemariku. Tak berguna sekali hidupku seharian ini, hanya tidur dan makan, serta memikirkan sesuatu yang benar menyita otakku.
Kuraih bungkus rokok yang terselip di pinggir dipanku.Teman sekamarku telah lama terlelap. Kusulut rokokku perlahan, kunikmati tiap hisapan nikotin laknat ini. Tak ada yang tau aku merokok, termasuk teman sekamarku dan terlebih pacarku. Terkadang rokok jadi kebutuhan penting saat seperti ini, kata anak muda jaman sekarang, saat “Galau”. Kulirik jam di handphone ku, pukul 00:57. Tawaran mas Andi petang lalu menyita seluruh waktuku untuk memikirkanya.  Setengah mati aku tertarik dengan cerita pengalamanya saat itu. Sangat tertarik dan ingin sekali ikut dengan nya lusa. Telah terbayang dibenakku perjalanan dingin yang mengasyikan, meskipun aku alergi dingin , tapi ingin sekali rasanya merasakan sensasinya. Berjalan di jalur licin, menangkap angin dan berburu edelweiss, Ya, terfikir olehku untuk memberikan kado bunga itu pada ultah ibuku seminggu lagi. Senang rasanya, sudah terbayang segala keindahan itu. Namun, ragu menyergapku dengan taringnya saat terbayang keganasan medan terjal menuju puncak, hawa dingin yang akan membombardir seluruh tubuhkau dengan rasa gatal yang tak tertahan.Apa aku siap?, apa sesak nafasku tak akan kambuh?, yang terpenting adalah mungkinkah ibuku mengizinkan setelah kejadian 3 tahun lalu yang meninmpa kakak lelakiku.?, segala pertanyaan berjubel di otakku. Pusing. Sambil terus ku hisap batang tembakau ini kurasakan sedikit sesak di dadaku, kubiarkan saja. Menikmati rasa sakit adalah kenikmatan tersendiri untuk sekedar mengingat kematian.

Ibu, kalau ku ingat wajah ibu, semua angan yang tergambar jelas serasa terbakar hangus begitu saja. Tak mungkin aku pergi, Ibuku pasti shock dan aku tak mau jadi malin kundang versi wanita apabila terus mengedepankan egoku. Tapi, di lain sisi, aku ingin sekali membuktikan bahwa aku akan baik saja, lagi-lagi egoku yang maju. Ingin sekali, sangat amat ingin bermanja bersama dedaunan hutan, berbicara pada angin gunung dan di belai hangatnya mentari pagi.
 Kakakku?, terlintas di benakku kejadian 3 tahun yang lalu saat aku masih sibuk dengan tahun pertamaku masuk kuliah. Dikala sibuknya aku beradaptasi dengan dunia baruku haruslah dihantam dengan kesedihan yang tak terkira. Kenyataan terpahit bahwasanya kakak laki-laki satu-satunya yang kupunya harus meninggalkan kami untuk selamanya. Kelalainya akan penyakit yang dideritanya saat dia belajar berkenalan dengan alam.Dia lalai manakala penyakit yang dianggap remeh ini menyeretnya dalam kematian. Penyakit yang sama dengan yang ku derita saat ini. 

Dua batang rokok yang asapnya sedari tadi memenuhi batang tenggorokanku telah tinggal abunya saja. Pikiranku menerawang atas segala kemungkinan yang akan terjadi. Bingung. Gamang. Kulirik gelas bekas kopiku tadi, terfikir untuk menambah porsi kopiku malam ini. Bisa tak tidur sampai subuh dibuatnya, kutepiskan segera. Aku butuh keputusan final malam ini, kalau tidak, ini akan menyita seluruh waktuku. Aku benci itu.
Lalu?,
Suara cicak didinding kamarku membuyarkan lamunanku. Kuraih handphoneku, kubuka foto ibuku. Tak mungkin aku menyakiti beliau. Tidak akan. Betapa bodohnya aku bila masih mempertahankan egoku.


Padang, April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar